Sabtu, 23 Agustus 2008

Dimana Keadilan Sejati? (Skandal Jual Beli Perkara Korupsi BLBI dari Sudut Pandang Mazhab Hukum Krit


Nurul Firmansyah
(Penulis adalah Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Kebijakan, Qbar Padang)

Percakapan via telepon, Kemas Yahya Rahman (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus) dengan artalyta Suryani (ayin), yang di muat Kompas (12/6/08), yang berbunyi; “Sudah dengar pernyataan saya kan?,” Ayin menjawab; “Good, very good.” Jawaban ayin itu mirip kalimat yang sering digunakan kepala gangster saat anak buahnya berhasil menjalankan instruksinya dengan baik, selain itu percakapan tersebut tersirat bentuk penghambaan seorang pejabat tinggi Kejagung kepada seseorang yang bernama Ayin (Saldi Isra, Kompas, 18 juni 2008).

Realita Hukum
Sungguh di luar akal sehat, saat drama persidangan kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan yang memutar potongan-potongan pembicaraan pejabat teras kejagung dengan Artalyta suryani (ayin) seperti yang disebut diatas, seakan-akan menyakinkan pergunjingan publik seputar jual beli perkara hukum (perkara korupsi) dengan cara-cara jual beli pasal. Tentunya masih segar di ingatan kita bersama, bagaimana kemas Yahya Rahman begitu yakin berbicara pada salah satu media elektronik swasta yang tentang penghentian penyelidikan perkara BLBI oleh Kejagung dengan logika-logika hukum yang dimilikinya.

Fenomena diatas tentunya tidak ditemukan pada perkara yang melibatkan seorang buruh pabrik yang mengambil sendal jepit bolong kawannya, atau seorang maling ayam yang ketiban sial tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum seperti yang sering ditampilkan dalam berita-berita kriminal televisi. Paling tidak, telah bisa dipastikan, seseorang dengan level Kemas Yahya Rahman tidak mungkin seakrab itu berbicara dengan buruh pabrik dan maling ayam tersebut. Kemudian muncullah pertanyaan dari dua cerita diatas, benarkah hukum bebas dari nilai politik, dan nilai ekonomi ?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya merujuk Rikardo Simarmata (HuMa, 2007) bahwa; Hukum tidak mungkin berproses secara asosial dan akultural. Hukum rentan terhadap pengaruh kepentingan, persepsi dan aspek budaya, yang muncul dari masyarakat dan juga petugas dan aparat penegak hukum yang mempengaruhi hukum itu sendiri. Artinya sulit memisahkan antara hukum dengan kepentingan-kepentingan politik, budaya dan ekonomi, terutama dalam hal kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan struktur ekonomi dan politik.

Merapatnya kekuatan-kekuatan uang pada sendi-sendi strategis penegak hukum, setidaknya di lingkungan kejaksaan RI (kejagung) yang ditampilkan secara gamblang dari pembicaraan Ayin dengan para pejabat teras Kejagung memancing lebih dalam tentang struktur hukum yang kita anut selama ini, yaitu sistem hukum liberal atau sistem hukum modern yang kini diadopsi penuh oleh sisten hukum Indonesia. Secara sederhana hukum liberal seringkali diungkapkan oleh aparat penegak hukum, bahwa segala sesuatu telah dilaksanakan sesuai prosedur. Disana tersirat argument prosedur adalah gema keadilan. Padahal, banyak kasus membuktikan, secara kasat mata, banyak prosedur yang justru menjadi musuh keadilan. Lalu, mengapa prosedur dianggap lebih penting dari ungkapan substansif keadilan ?

Kasus BLBI adalah segelintir bentuk pendewaan terhadap keadilan prosedural. Penghentian penyelidikan perkara BLBI oleh Kejagung dan kongkang lingkong seputar penangkapan Ayin atas indikasi suap Jaksa Urip yang berhubungan dengan kasus BLBI, berlanjut pada indikasi keterlibatan sebagian pejabat teras dilingkungan Kejagung, memperlihatkan permainan di bawah payung prosedur hukum dalam bingkai sistem hukum kita hari ini.

Menggunakan pendekatan hukum kritis untuk memproyeksi kasus BLBI diatas tidak bisa dilepas dari kritik mazhab ini terhadap hukum modern yang terlalu mengagungkan keadilan prosedural. Mazhab hukum kritis pertama kali diperkenalkan di Wisconsin tahun 1977, seiring perjuangan hak-hak sipil Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 yang tidak puas dengan realitas hukum dimasa perang Vietnam dan dibarengi dengan gejolak ekonomi serta politik internal Amerika Serikat pada masa itu (Ifdhal Kasim, 2004). Dengan kondisi Indonesia hari ini, yang di himpit oleh berbagai krisis, baik itu pada aras politik, ekonomi, hukum dan bahkan sosial budaya, di rasa cukup relevan bila menelitik alternatif pemikiran dalam hukum (hukum kritis) untuk mencoba mengkritik kandungan hukum liberal yang selama ini kita anut.

Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan arena penting dalam kacamata mazhab hukum kritis, karena di sanalah akan diuji doktrin yang selama ini diterima dalam kurikulum di fakultas hukum tentang hukum yang netral, egaliter dan bebas nilai. Mazhab hukum kritis masuk lebih jauh ke kerangka ideologis. Salah satu tesisnya adalah; penegakan hukum sesungguhnya merupakan halaman perkelahian serius antar kelas, dimana kelas elit memiliki semua akses ke hukum (Bernadinus Steny, HuMa, 2007). Dalam hal ini, mereka meminjam Marx, menyatakan hukum adalah produk kelas dominan untuk menguntungkan kelasnya, sekaligus sebagai senjata untuk menundukkan kelas proletar. Penegak Hukum adalah kelas elit karena masuk dalam lingkaran kekuasaan. Dari sana diproduksikan Kontrol dan sanksi pelanggaran hukum (ibid).

Indikasi skandal jual beli perkara kasus korupsi BLBI yang melibatkan pejabat teras Kejagung adalah potret lapis luar dari jejaring aparat penegak hukum dengan kekuatan ekonomi dan politik super kuat. Bila dilihat dalam kacamata hukum kritis, Fenomena diatas bukan melulu masalah prilaku aparat penegak hukum, namun lebih dalam menyentuh struktur budaya aparat penegak hukum yang menggunakan kontrol yang dimilikinya untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik kelompok elit Negara ini.

Penyibakan KPK atas skandal yang mengitari Gedung Bundar, selain menghebohkan pemberitaan media, juga sebagai pematik kontrol publik (rakyat) atas jurus-jurus prosedural yang di gunakan sebagai dalil kebenaran mutlak aparat penegak hukum. Dengan momentum ini, saatnya publik (rakyat) lebih kritis lagi untuk memandang dan mengawasi praktek haram; pengerukan uang Negara melalui BLBI, yang kemudian berujung pada upaya-upaya haram kontrol oknum aparat penegak hukum dalam drama penyelamatan pelaku pengerukan uang negara.

Sumber: Padang Ekspres

Tidak ada komentar: